Skip to main content

Mendayung di Antara Banyak Karang

PROPOSAL itu datang dari Eropa. Sang pembawa: Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. Inilah presiden yang, menurut The Economist, "Hobi menghadiri konferensi tingkat tinggi." Ia membawa usul tentang arsitektur sistem finansial global baru untuk menyelamatkan dunia dari krisis global. "Kami minta Asia mendukung," ujar Sarkozy, Jumat pekan lalu.

Di depan Sarkozy duduk lebih dari 20 pemimpin Asia, dengan tuan rumah Cina. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga hadir. Selain itu, wakil dari Eropa yang tampak di Balai Agung Rakyat, Beijing, tersebut antara lain Perdana Menteri Spanyol Jose Louis Rodriguez Zapatero, Perdana Menteri Finlandia Tarja Halonen, plus Presiden Komisi Uni Eropa Jose Manuel Barosso. "Ini demi masa depan generasi mendatang," ucap Barosso.

Sepenting apakah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Eropa ke-7 yang diselenggarakan pada Jumat-Sabtu pekan lalu sehingga Eropa perlu meminta dukungan Asia? Bukankah forum yang biasa disebut Asia-Europe Meeting (Asem) ini sejak didirikan 12 tahun lalu hanya menjadi pelengkap penderita di pentas dunia?

Sebagai forum dialog informal, Asem selama ini memang tak banyak membuat keputusan konkret. Sebuah studi yang digagas Departemen Luar Negeri Jepang dan Finlandia menyimpulkan bahwa hasil-hasil pertemuan Asem "meskipun mencakup isu yang cukup luas, sama sekali tak mendalam".

Didirikan pada 1996 atas inisiatif Singapura dan Prancis, forum ini awalnya untuk memperkuat hubungan antara kawasan Asia dan Eropa, yang jelas tertinggal jauh dibanding kedekatan negara-negara Asia dengan Amerika Serikat atau relasi mesra poros Atlantik: Amerika Serikat-Eropa.

Sebastian Bersick, peneliti senior dari German Institute for International and Security Affairs, menandai "niat lain" di balik pendirian Asem. Saat itu, kata dia, sebagian pemimpin Asia khawatir Amerika Serikat akan meninggalkan kawasan ini. Karena itu, dibutuhkan kekuatan keamanan baru untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut. "Ketertarikan Eropa awalnya hanya soal ekonomi," kata Bersick, yang ditemui Tempo di Beijing, Cina, pekan lalu.

Namun gagasan terselubung lain di balik Asem bukan hanya itu. Menurut Bersick, ada ketakutan di antara negara-negara Asia Tenggara terhadap kemungkinan makin dominannya kekuatan Cina di wilayah ini. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antara Cina yang makin kuat dan Jepang yang sudah mapan lebih dulu, ASEAN mengundang keduanya-plus Korea Selatan-menjadi anggota Asem.

"Dengan begitu, ketiga negara ini punya forum untuk berdialog satu sama lain," kata Bersick. Tiga tahun setelah berdiri, barulah pertemuan ASEAN + 3 mulai rutin digelar.

Meski begitu, mekanisme Asem masih belum memuaskan banyak pihak. Keanggotaannya yang amat luas dan hanya berdasarkan lokasi-ada Burma yang dipimpin rezim militer, Cina-Jepang yang bersaing, dan sekarang India juga bergabung-membuat pihak Asia dalam Asem amat sulit berdiri di posisi yang sama dalam banyak isu. Ini berbeda dengan Eropa yang mengikuti satu alur kebijakan luar negeri tunggal yang dirumuskan oleh Uni Eropa.

"Ini membuat banyak orang di Eropa frustrasi," kata Klaus Fritsche, Direktur Asienhaus, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Jerman yang memfokuskan diri pada isu Asia. Padahal, kata dia, potensi pengaruh Asem amatlah besar. Jika digabungkan, kekuatan ekonomi anggota Asem mencapai separuh kekuatan dunia.

Ketiadaan kerangka kerja dan struktur organisasi yang baku di dalam Asem juga memperparah keadaan. "Sejak awal, Asem memang didesain cair seperti itu. This is the Asian way," kata Fritsche. Semua keputusan Asem bersifat rekomendasi. "Bahkan pernyataan bersama yang akan dibaca di akhir pertemuan biasanya siap dua-tiga minggu sebelumnya," ujar Fritsche.

Sudesh Maniar, Direktur Yayasan Asia-Eropa-satu-satunya organisasi yang didirikan di bawah naungan Asem-menjelaskan bahwa mekanisme dialog yang cair di dalam Asem justru merupakan desain yang tepat untuk mengatasi banyak isu panas di kawasan Asia dan Eropa. "Hasil akhirnya memang baru bisa dilihat dalam jangka panjang," katanya.

Jonas Staselis, Wakil Ketua Asosiasi Jurnalis Lituania, yang hadir dalam pertemuan Asem di Beijing, sepakat. "Ini seperti investasi untuk masa depan," katanya.

Xinning Song, peneliti di Pusat Studi Eropa, Universitas Renmin, Cina, tak sependapat. Ia menilai Asem bisa lebih berpengaruh jika Asia bisa mengorganisasikan diri lebih baik. Masalahnya, siapa yang bisa menjadi motor? "Jepang dan Cina tak akan membiarkan satu sama lain mengambil posisi di depan," katanya. India juga belum bisa berperan karena baru tahun ini menjadi peserta konferensi. "Karena itu, ASEAN harus ada di depan," kata Xinning.

Wahyu Dhyatmika (Beijing)
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/10/27/ITR/mbm.20081027.ITR128576.id.html

Comments

Popular posts from this blog

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...

Pemilu Sela

Sayang Indonesia tidak punya mekanisme pemilihan umum sela. Padahal, mekanisme itu amat membantu mempertahankan tingkat akuntabilitas wakil rakyat di mata pemilihnya. Lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pemilihan sela kongres yang berlangsung sebulan lalu, yang dimenangkan Partai Demokrat, berhasil menyampaikan pesan rakyat Amerika yang menolak Perang Irak. Di Indonesia, pemilu dilakukan lima tahun sekali. Itu pemilu parlemen dan presiden. Sedangkan di daerah-daerah, setiap kabupaten dan provinsi mengadakan pemilihan kepala daerah masing-masing dalam waktu yang berbeda-beda. Tidak heran jika stabilitas politik di negeri ini selalu jadi urusan pelik. Karena partai politik tak habis-habisnya berpikir memenangkan kekuasaan dari satu pemilihan di satu daerah ke pemilihan lain di daerah lain. Begitu terus menerus sepanjang masa. Rantai ini sudah saatnya dihentikan. Setahun lalu, dalam Rapat Pimpinan Nasionalnya di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Partai Golkar sebenarnya sudah pernah ...

Wisudo, Old Media and Public Interest

The boundaries between what is and what is not considered as public interest in many media offices, blurred last week. I mourned for the death of rational journalism and the end of what in my opinion should be media's most sacred treasure, respect for what is right and what is wrong, and an ability to hold themselves from directly interfering the course of events in society. *** It all start with the sacking of my friend and fellow activist, Bambang Wisudo, from his job as senior journalist at a leading media firm here in Jakarta. The unprecedented sacking prompted a lot of question marks, especially because he is a relentless advocate for workers' rights and currently still hold a position as secretary at his office's press workers union. According to Indonesian workers' union law that protect the rights of union activists like Wisudo, this sacking is a plain simple violation. Two articles in that law clearly stated that a union activist cannot be ...