Skip to main content

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi.

Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai.

Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara di televisi, menyarankan publik menjatuhkan hukuman moral dan sanksi sosial --seperti melarang pentas, mencekal masuk ke satu daerah-- atas ketiga selebriti ini. "Karena aturan hukum positif tidak menjatuhkan sanksi apapun kepada pelaku video seks ini --dengan dalih video itu tidak sengaja tersebar dan awalnya dibuat untuk kepentingan pribadi-- maka masyarakatlah yang berhak mengambil tindakan, menjatuhkan sanksi sosial," katanya. Tindakan itu penting untuk menegaskan nilai dan norma sosial kita, katanya.

Dan tebaklah, siapa yang paling bersemangat menyambut ajakan Mahfud? Benar: FPI dan rekan-rekannya kaum fundamentalis. Mereka mendemo rumah Ariel, menyegel kafe Luna dan entah apa lagi yang mereka rencanakan.

Okelah, video seks itu 'terlalu panas' untuk kultur kita. Tapi saya kira Ariel-Luna-Tari sudah mendapat sanksi sosial dengan dipermalukan di muka publik seperti sekarang. Saya kira dalam waktu dekat ini, mereka akan berpikir 100 kali sebelum nongol di muka umum (kecuali terpaksa, ketika dipanggil polisi tempo hari). Tak usahlah, disegel-segel dan didemo-demo. Pelaku yang paling pantas mendapat sanksi, adalah yang menyebarkannya di internet.

Comments

Unknown said…
wah pak ini membantu sekali untuk kelas Argumentasi dan Debat saya :)
L. Pralangga said…
As we are living in such a globalized world that norms and geographic boundaries continuously becoming a vague norms, combined with privacy rights and so forth, one should exercise an extra caution in creating, storing and perhaps distributing such explicit materials to begin with understanding our culture and society is yet like the model in the USA.

However, taking things blown out of proportions (thanks to the help of the media) has just stirred up public opinion heated up and sparked new phenomenon.. as a member of the Society, I think the actors has already been socially punished so dearly, guess we should focus more on the underlying and critical issues like: Sex Education perhaps towards our younger generation that would be more strategic to answer this kind of trend.. and many more.

Just my two cents.. regards from Kuwait.

PS: Thanks for contacting via LinkedIn - we should talk :D

Popular posts from this blog

Pemilu Sela

Sayang Indonesia tidak punya mekanisme pemilihan umum sela. Padahal, mekanisme itu amat membantu mempertahankan tingkat akuntabilitas wakil rakyat di mata pemilihnya. Lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pemilihan sela kongres yang berlangsung sebulan lalu, yang dimenangkan Partai Demokrat, berhasil menyampaikan pesan rakyat Amerika yang menolak Perang Irak. Di Indonesia, pemilu dilakukan lima tahun sekali. Itu pemilu parlemen dan presiden. Sedangkan di daerah-daerah, setiap kabupaten dan provinsi mengadakan pemilihan kepala daerah masing-masing dalam waktu yang berbeda-beda. Tidak heran jika stabilitas politik di negeri ini selalu jadi urusan pelik. Karena partai politik tak habis-habisnya berpikir memenangkan kekuasaan dari satu pemilihan di satu daerah ke pemilihan lain di daerah lain. Begitu terus menerus sepanjang masa. Rantai ini sudah saatnya dihentikan. Setahun lalu, dalam Rapat Pimpinan Nasionalnya di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Partai Golkar sebenarnya sudah pernah

Wisudo, Old Media and Public Interest

The boundaries between what is and what is not considered as public interest in many media offices, blurred last week. I mourned for the death of rational journalism and the end of what in my opinion should be media's most sacred treasure, respect for what is right and what is wrong, and an ability to hold themselves from directly interfering the course of events in society. *** It all start with the sacking of my friend and fellow activist, Bambang Wisudo, from his job as senior journalist at a leading media firm here in Jakarta. The unprecedented sacking prompted a lot of question marks, especially because he is a relentless advocate for workers' rights and currently still hold a position as secretary at his office's press workers union. According to Indonesian workers' union law that protect the rights of union activists like Wisudo, this sacking is a plain simple violation. Two articles in that law clearly stated that a union activist cannot be