Skip to main content

Menguatkan Jurnalisme sebagai Percakapan Publik

Empat tahun sudah berlalu sejak polemik soal senjakala jurnalisme meramaikan lini masa kita. Ketika itu, banyak orang yang bekerja di media maupun yang mengamati dari luar media, riuh rendah memperdebatkan masa depan jurnalisme ketika semakin banyak orang meninggalkan media konvensional dan beralih ke platform digital. Rasanya sudah saatnya menengok kembali polemik lama itu dan mengukur sejauhmana kedua kubu, yang pro maupun kontra pada prediksi senjakala, berhasil meramalkan apa yang kini terjadi.

 Ikhtiar ini menurut saya penting karena pada hari pertama di tahun baru 2021 ini, Koran Tempo dan Majalah Tempo berbahasa Inggris, resmi beralih ke platform digital. Kedua penerbitan ini tak lagi bisa ditemukan dalam format cetak. Kita ingat, pada 2016, Koran Tempo edisi Minggu juga beralih ke versi digital. Itu salahsatu yang memicu perdebatan soal masa depan jurnalisme.

 Banyak yang sudah terjadi setelah empat tahun, dan buat saya banyak yang membesarkan hati. Media digital kini tampak lebih beragam, dengan berbagai tawaran format pemberitaan dan model bisnis. Ada yang menawarkan berita kritis dan investigatif, ada yang menawarkan perspektif pembaca digabung dengan berita terkurasi, ada yang menawarkan jurnalisme data, berita video, podcast, maupun riset spesifik dan akses ke pangkalan data. Semakin banyak pengelola media yang meninggalkan model bisnis utama yang terlalu mendewakan traffic dan impresi. Kecepatan berita di media online tetap penting, namun bukan lagi satu-satunya indikator kualitas sebuah situs berita digital.

 Dengan demikian, jurnalisme tidak mati, seperti yang dikhawatirkan pada 2016 lalu. Yang terjadi justru sebaliknya: jurnalisme berkembang, ke dalam banyak format dan warna. Otentisitas fakta, kekuatan data, dan keragaman format berita, terbukti membuat jurnalisme di era digital lebih kaya dibandingkan media sebelumnya. Publik dihadapkan pada keragaman format, sudut pandang, narasi, dan bebas memilih serta membandingkan berbagai pemberitaan sebelum merumuskan sikap individualnya mengenai satu topik.

Disrupsi digital justru membuat kebebasan pers lebih penting lagi. Namun, transformasi ini belum tuntas dengan satu dua bukti anekdotal soal sejumlah media baru dengan alternatif cara bercerita. Transformasi media menjadi sepenuhnya digital baru bisa tuntas jika pengelola media meredefinisi secara total apa definisi jurnalis dan jurnalisme. Jika jurnalisme dipahami sebagai bagian dari percakapan publik, barulah transisi platform media dari konvensional ke digital, bisa disebut tuntas. 

Alasannya sederhana. Selama ini, wartawan memahami dirinya sebagai satu-satunya penjaga gerbang kebenaran. Seorang jurnalis saban hari harus berjibaku mengejar narasumber, mewawancarai mereka untuk merangkai fakta, mereportase peristiwa, meriset konteksnya, dan kemudian melaporkannya secara jernih dan memikat. Dengan posisi dan peran semacam itu, si wartawan menilai tugasnya rampung ketika berita dipublikasikan. Dia tidak merasa perlu untuk terlibat dalam berbagai percakapan yang terjadi seputar beritanya.

 Padahal kini peran penjaga gerbang itu sendiri tak relevan lagi. Siapa saja kini bisa menerbitkan media, tak perlu punya mesin cetak atau izin penyiaran. Dengan kepemilikan media yang lebih beragam, fungsi "gerbang informasi" tak bisa lagi ditegakkan. Tak ada lagi gerbang, karena semua informasi, benar atau keliru, sudah bisa menerobos masuk ke ruang-ruang privat kita.

 Walhasil, redefinisi jurnalis dan jurnalisme mutlak dibutuhkan. Tanpa itu, sulit mengharapkan ada media yang benar-benar bisa beradaptasi dengan kebutuhan informasi baru dan pola konsumsi informasi baru di era digital ini.

 Interaksi redaksi dan pembacanya adalah kunci untuk memahami peran jurnalis dan jurnalisme digital. Setiap media akan punya misi berbeda dalam melayani komunitasnya, namun semua media harus bisa mendengar dan memahami apa kemauan komunitas pembacanya. Tanpa itu, si wartawan tak akan bisa menjawab apa kebutuhan yang hendak dia layani dari pembacanya.

Ini luar biasa penting karena sepanjang sebuah media bisa tetap relevan untuk pembacanya, dia akan tetap hidup. Transisi media konvensional ke media digital baru akan rampung jika redefinisi konsep jurnalisme ini tuntas. Ketika wartawan tidak semata-mata menganggap pekerjaannya adalah tukang bercerita atau story teller, namun juga penggerak perubahan, inovator, dan mediator dari berbagai masalah dan sudut pandang yang berkecamuk di benak warga.

Jurnalis digital harus bisa jadi bagian dari komunitas yang dia layani. Jika pertanyaan soal relevansi beritanya ini bisa dijawab pengelola media, maka pertanyaan soal keberlangsungan model bisnis akan terungkap dengan sendirinya. Karena relevansi tentu akan diikuti dengan loyalitas pembaca, bahkan jika diminta merogoh kocek untuk membayar biaya berlangganan misalnya. Media yang mendengarkan aspirasi pembacanya akan terus bertahan, sesulit apapun kondisinya.

Comments

Popular posts from this blog

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...

Pemilu Sela

Sayang Indonesia tidak punya mekanisme pemilihan umum sela. Padahal, mekanisme itu amat membantu mempertahankan tingkat akuntabilitas wakil rakyat di mata pemilihnya. Lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pemilihan sela kongres yang berlangsung sebulan lalu, yang dimenangkan Partai Demokrat, berhasil menyampaikan pesan rakyat Amerika yang menolak Perang Irak. Di Indonesia, pemilu dilakukan lima tahun sekali. Itu pemilu parlemen dan presiden. Sedangkan di daerah-daerah, setiap kabupaten dan provinsi mengadakan pemilihan kepala daerah masing-masing dalam waktu yang berbeda-beda. Tidak heran jika stabilitas politik di negeri ini selalu jadi urusan pelik. Karena partai politik tak habis-habisnya berpikir memenangkan kekuasaan dari satu pemilihan di satu daerah ke pemilihan lain di daerah lain. Begitu terus menerus sepanjang masa. Rantai ini sudah saatnya dihentikan. Setahun lalu, dalam Rapat Pimpinan Nasionalnya di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Partai Golkar sebenarnya sudah pernah ...

Wisudo, Old Media and Public Interest

The boundaries between what is and what is not considered as public interest in many media offices, blurred last week. I mourned for the death of rational journalism and the end of what in my opinion should be media's most sacred treasure, respect for what is right and what is wrong, and an ability to hold themselves from directly interfering the course of events in society. *** It all start with the sacking of my friend and fellow activist, Bambang Wisudo, from his job as senior journalist at a leading media firm here in Jakarta. The unprecedented sacking prompted a lot of question marks, especially because he is a relentless advocate for workers' rights and currently still hold a position as secretary at his office's press workers union. According to Indonesian workers' union law that protect the rights of union activists like Wisudo, this sacking is a plain simple violation. Two articles in that law clearly stated that a union activist cannot be ...