YUYUN Wahyuningrum akhirnya keluar dari ruang tunggu Ballroom Napalai, Hotel Dusit Thani, Hua Hin, Thailand. Yuyun-aktivis hak asasi manusia, kini manajer program di Forum Asia-seharusnya menjadi wakil Indonesia dalam forum dialog dengan sepuluh pemimpin negara anggota ASEAN, Jumat pekan lalu. Bersama wakil masyarakat sipil dari Malaysia dan Thailand, Yuyun memboikot pertemuan itu.
Mereka memprotes sikap pemerintah Filipina, Singapura, Burma, Kamboja, dan Laos. Departemen Luar Negeri kelima negara ASEAN itu berkeras menunjuk sendiri wakil lembaga swadaya masyarakat yang datang ke pertemuan. "Para pemimpin itu mengingkari sendiri isi Piagam ASEAN," kata Yuyun kepada Tempo pekan lalu. Piagam ASEAN, semacam konstitusi yang menjadi dasar lembaga multilateral ini, menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam mekanisme ASEAN. "Tanpa partisipasi publik yang murni dari bawah, ASEAN hanya akan jadi arisan para elite, yang terancam kehilangan relevansinya," katanya.
Sebelumnya, pada awal pekan lalu, tak kurang dari 500 aktivis berkumpul di Hua Hin, Thailand. Tiga hari penuh mereka menggodok masukan dan usul yang akan disampaikan kepada para kepala negara ASEAN pada forum itu. Dan aksi walkout Yuyun dan kawan-kawan adalah puncak dari kekesalan aktivis masyarakat sipil di Asia Tenggara atas maju-mundurnya keberpihakan ASEAN pada nilai hak asasi manusia, demokrasi, dan tata kelola yang baik dan bersih.
Pada pembukaan KTT ASEAN, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva masih berusaha optimistis. "Masyarakat ASEAN sudah mulai terbentuk," katanya. Dia menunjuk telah terbentuknya Komite Perwakilan Tetap ASEAN di Sekretariat ASEAN di Jakarta, juga telah dimulainya rapat-rapat Dewan Masyarakat Ekonomi, Masyarakat Sosial-Budaya, dan Masyarakat Politik Keamanan, sebagai sinyal positif.
Namun kenyataan tampaknya berkata lain. Untuk pertama kalinya, hanya separuh dari pemimpin ASEAN hadir dalam upacara pembukaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih memimpin sidang kabinet. Demikian juga Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah. Semua mengaku punya agenda domestik yang lebih mendesak.
Harapan memang sempat tebersit dari pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN, yang resmi berdiri Jumat pekan lalu. Inilah jawaban ASEAN atas tuduhan komunitas internasional yang menilainya selalu bersikap mendua atas pelanggaran hak asasi manusia di kawasan ini. Namun kritik terus mengalir. Direktur Eksekutif Forum Asia-sebuah lembaga advokasi HAM berbasis di Bangkok-Yap Swee Seng tidak yakin lembaga ini bisa independen. "Komisi ini tidak punya gigi," katanya pedas.
Komisi HAM ASEAN ini tampaknya juga tak punya uang. ASEAN hanya mengalokasikan US$ 200 ribu untuk operasionalisasi komisi pada tahun pertama. Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Imron Cotan mengakui jumlah itu minim. "Tapi itu hanya untuk tahap awal," katanya. Pemerintah Indonesia siap menyediakan kekurangannya, asalkan kantor komisi itu ditetapkan di Jakarta.
Di sektor ekonomi, tantangan pun masih bejibun. Menteri Perdagangan Thailand, yang mengetuai Dewan ASEAN Economic Community tahun ini, Pornthiva Nakasai, menunjuk kegagalan ASEAN menerapkan single window policy sesuai dengan jadwal pada 2008 sebagai lampu kuning. Dari ratusan rencana aksi yang sudah disepakati, baru sedikit yang benar-benar terlaksana. Penurunan tarif impor komoditas yang seharusnya sudah 0-5 persen pada awal 2010 tampaknya bakal meleset. "Kita terpaksa membuat pengecualian untuk beberapa komoditas strategis, seperti beras," kata Imron Cotan.
Itu baru hambatan tarif. Penghalang nontarif lebih banyak lagi. Steve Cheah, salah satu Ketua Kamar Dagang Thailand-Malaysia, tak yakin pasar tunggal ASEAN bisa terbentuk sesuai dengan rencana pada 2015. "Masing-masing negara ASEAN punya kebijakan dan peraturan yang berbeda-beda," keluh pengusaha Malaysia ini.
Komunitas ASEAN memang heterogen. Perbedaan sistem politik, sosial, dan ekonomi pada kesepuluh negara anggota ASEAN terlalu besar. Ada Filipina dan Indonesia yang demokratis, ada juga Vietnam yang komunis dan ekonomi terpusat seperti di Burma, ekonomi liberal di Malaysia. Direktur Eksekutif Southeast Asian Press Alliance-lembaga advokasi kebebasan pers Asia Tenggara-Roby Alampay tak yakin proyek pembentukan komunitas tunggal ASEAN akan berhasil. "Kita terlalu berbeda," kata pria Filipina ini.
Wahyu Dhyatmika (Hua Hin)
http://202.158.52.214/id/arsip/2009/10/26/ITR/mbm.20091026.ITR131783.id.html
Mereka memprotes sikap pemerintah Filipina, Singapura, Burma, Kamboja, dan Laos. Departemen Luar Negeri kelima negara ASEAN itu berkeras menunjuk sendiri wakil lembaga swadaya masyarakat yang datang ke pertemuan. "Para pemimpin itu mengingkari sendiri isi Piagam ASEAN," kata Yuyun kepada Tempo pekan lalu. Piagam ASEAN, semacam konstitusi yang menjadi dasar lembaga multilateral ini, menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam mekanisme ASEAN. "Tanpa partisipasi publik yang murni dari bawah, ASEAN hanya akan jadi arisan para elite, yang terancam kehilangan relevansinya," katanya.
Sebelumnya, pada awal pekan lalu, tak kurang dari 500 aktivis berkumpul di Hua Hin, Thailand. Tiga hari penuh mereka menggodok masukan dan usul yang akan disampaikan kepada para kepala negara ASEAN pada forum itu. Dan aksi walkout Yuyun dan kawan-kawan adalah puncak dari kekesalan aktivis masyarakat sipil di Asia Tenggara atas maju-mundurnya keberpihakan ASEAN pada nilai hak asasi manusia, demokrasi, dan tata kelola yang baik dan bersih.
Pada pembukaan KTT ASEAN, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva masih berusaha optimistis. "Masyarakat ASEAN sudah mulai terbentuk," katanya. Dia menunjuk telah terbentuknya Komite Perwakilan Tetap ASEAN di Sekretariat ASEAN di Jakarta, juga telah dimulainya rapat-rapat Dewan Masyarakat Ekonomi, Masyarakat Sosial-Budaya, dan Masyarakat Politik Keamanan, sebagai sinyal positif.
Namun kenyataan tampaknya berkata lain. Untuk pertama kalinya, hanya separuh dari pemimpin ASEAN hadir dalam upacara pembukaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih memimpin sidang kabinet. Demikian juga Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah. Semua mengaku punya agenda domestik yang lebih mendesak.
Harapan memang sempat tebersit dari pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN, yang resmi berdiri Jumat pekan lalu. Inilah jawaban ASEAN atas tuduhan komunitas internasional yang menilainya selalu bersikap mendua atas pelanggaran hak asasi manusia di kawasan ini. Namun kritik terus mengalir. Direktur Eksekutif Forum Asia-sebuah lembaga advokasi HAM berbasis di Bangkok-Yap Swee Seng tidak yakin lembaga ini bisa independen. "Komisi ini tidak punya gigi," katanya pedas.
Komisi HAM ASEAN ini tampaknya juga tak punya uang. ASEAN hanya mengalokasikan US$ 200 ribu untuk operasionalisasi komisi pada tahun pertama. Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Imron Cotan mengakui jumlah itu minim. "Tapi itu hanya untuk tahap awal," katanya. Pemerintah Indonesia siap menyediakan kekurangannya, asalkan kantor komisi itu ditetapkan di Jakarta.
Di sektor ekonomi, tantangan pun masih bejibun. Menteri Perdagangan Thailand, yang mengetuai Dewan ASEAN Economic Community tahun ini, Pornthiva Nakasai, menunjuk kegagalan ASEAN menerapkan single window policy sesuai dengan jadwal pada 2008 sebagai lampu kuning. Dari ratusan rencana aksi yang sudah disepakati, baru sedikit yang benar-benar terlaksana. Penurunan tarif impor komoditas yang seharusnya sudah 0-5 persen pada awal 2010 tampaknya bakal meleset. "Kita terpaksa membuat pengecualian untuk beberapa komoditas strategis, seperti beras," kata Imron Cotan.
Itu baru hambatan tarif. Penghalang nontarif lebih banyak lagi. Steve Cheah, salah satu Ketua Kamar Dagang Thailand-Malaysia, tak yakin pasar tunggal ASEAN bisa terbentuk sesuai dengan rencana pada 2015. "Masing-masing negara ASEAN punya kebijakan dan peraturan yang berbeda-beda," keluh pengusaha Malaysia ini.
Komunitas ASEAN memang heterogen. Perbedaan sistem politik, sosial, dan ekonomi pada kesepuluh negara anggota ASEAN terlalu besar. Ada Filipina dan Indonesia yang demokratis, ada juga Vietnam yang komunis dan ekonomi terpusat seperti di Burma, ekonomi liberal di Malaysia. Direktur Eksekutif Southeast Asian Press Alliance-lembaga advokasi kebebasan pers Asia Tenggara-Roby Alampay tak yakin proyek pembentukan komunitas tunggal ASEAN akan berhasil. "Kita terlalu berbeda," kata pria Filipina ini.
Wahyu Dhyatmika (Hua Hin)
http://202.158.52.214/id/arsip/2009/10/26/ITR/mbm.20091026.ITR131783.id.html
Comments