Skip to main content

Pemilu Sela


Sayang Indonesia tidak punya mekanisme pemilihan umum sela. Padahal, mekanisme itu amat membantu mempertahankan tingkat akuntabilitas wakil rakyat di mata pemilihnya. Lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pemilihan sela kongres yang berlangsung sebulan lalu, yang dimenangkan Partai Demokrat, berhasil menyampaikan pesan rakyat Amerika yang menolak Perang Irak.

Di Indonesia, pemilu dilakukan lima tahun sekali. Itu pemilu parlemen dan presiden. Sedangkan di daerah-daerah, setiap kabupaten dan provinsi mengadakan pemilihan kepala daerah masing-masing dalam waktu yang berbeda-beda. Tidak heran jika stabilitas politik di negeri ini selalu jadi urusan pelik. Karena partai politik tak habis-habisnya berpikir memenangkan kekuasaan dari satu pemilihan di satu daerah ke pemilihan lain di daerah lain. Begitu terus menerus sepanjang masa. Rantai ini sudah saatnya dihentikan.

Setahun lalu, dalam Rapat Pimpinan Nasionalnya di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Partai Golkar sebenarnya sudah pernah muncul dengan ide penyederhanaan pemilu. Pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pilkada akan disatukan sehingga hanya ada dua sampai tiga kali pemilu dalam lima tahun. Sayangnya, alasan mereka salah. Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla menyatakan perlunya pemilu disederhanakan untuk menghemat anggaran dan mencegah rakyat bosan mencoblos. “Kalau tiap tahun pemilu, capek kita. Tidak sempat membangun ekonomi. Pohon-pohon di jalan juga capek karena dipaku terus oleh poster dan selebaran kampanye,” kata Kalla.

Karena alasannya tak nyambung begitu, gagasan menarik Golkar pun jadi tidak punya gaung. Nyaris tidak ada media yang mengulasnya panjang dan ide itu gagal diangkat jadi wacana publik. Kalaupun sempat diperdebatkan, ya paling banter bertahan satu minggu dan menguap tanpa tindak lanjut apapun.

Padahal, penyederhanaan pemilu yang otomatis akan melahirkan pemilu sela untuk legislatif baik di pusat maupun daerah-- akan jadi mekanisme politik yang sungguh amat sehat dan bermanfaat bagi kepentingan publik. Inilah kegagalan komunikasi politik Partai Golkar. Partai terbesar di Indonesia ini ternyata tidak piawai menjual ide-ide politiknya.

Comments

Wahyu Dhyatmika said…
This comment has been removed by a blog administrator.
Wahyu Dhyatmika said…
Guys,
I'm sorry this time I wrote in Indonesian. I just came back from a long journey, exhausted. I was very close from finishing this article, when I realised I was typing in Indonesian, instead of english. This prove that my mother tongue is sure not english, even how hard and often I tried to use the language in my head. Well, I sure can translate it, but again, as I said, I was really tired.

In short, the post is about election in Indonesia. We dont have the same mechanism to elect some members of parliament in the middle of presidential term, like the one just held in USA. As the result, we dont have a mechanism to show the people's reaction toward the government policies. If such mechanism exist in our political system, the government will be much more accountable to the people.

Popular posts from this blog

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d

Wisudo, Old Media and Public Interest

The boundaries between what is and what is not considered as public interest in many media offices, blurred last week. I mourned for the death of rational journalism and the end of what in my opinion should be media's most sacred treasure, respect for what is right and what is wrong, and an ability to hold themselves from directly interfering the course of events in society. *** It all start with the sacking of my friend and fellow activist, Bambang Wisudo, from his job as senior journalist at a leading media firm here in Jakarta. The unprecedented sacking prompted a lot of question marks, especially because he is a relentless advocate for workers' rights and currently still hold a position as secretary at his office's press workers union. According to Indonesian workers' union law that protect the rights of union activists like Wisudo, this sacking is a plain simple violation. Two articles in that law clearly stated that a union activist cannot be