Skip to main content

Jakarta attacks Burma’s draft constitution

By John Aglionby in Jakarta and Amy Kazmin in Bangkok

Published: February 21 2008 23:12 | Last updated: February 21 2008 23:12

Indonesia became the first big developing country on Thursday to criticise Burma’s draft constitution, which entrenches military rule by banning leading opposition activists from politics, including Aung San Suu Kyi, the Nobel prize-winning democracy advocate.

Hassan Wirajuda, Indonesia’s foreign minister, said the constitution should be revised before being put to a national referendum in May, to ensure that the interests of opposition and minority groups were protected.

His comments were made days after Burma’s military rulers publicly clarified that Ms Suu Kyi, now a widow, would be prohibited from contesting Burma’s planned 2010 elections because she had married a foreigner.

“We hope that in the period between now and May, a process of consultation will take in input from these groups so that the draft constitution which will be voted on will be comprehensive, meaning that it will accommodate their interests,” Mr Hassan told the Financial Times.

The Burmese junta insists its charter will lay the foundation for a “disciplined democracy” suitable for Burma’s multi-ethnic ­population.

But opposition groups have denounced it as an attempt to legalise military rule, while Ms Suu Kyi’s National League for Democracy has complained that the army’s “unilateral” referendum plans “did not support meaningful political dialogue or the national reconciliation process”.

Under the proposed constitution, 25 per cent of parliamentary seats will be reserved for the military, while the army chief can appoint key ministers, and declare a state of emergency, seizing widespread powers. Protection of basic rights and civil liberties will be highly conditional, and easily curbed by the military.

The constitutional provisions governing election eligibility also make it clear that political dissidents can easily be excluded from running for public office.

“It’s already rigged,” said Aung Naing Oo, a Burmese political analyst in exile. “Anyone who has been an active campaigner for democracy, or has been against the military at some point, or has the potential to do so, will be disqualified.”

The charter bars from office anyone married to a foreigner, or whose spouse or children have foreign citizenship, as well as Buddhist monks and other religious figures. It also bars political prisoners and civil servants, except for soldiers.

Parliamentary candidates must have lived in Burma for 10 consecutive years.

Copyright The Financial Times Limited 2008

Comments

Popular posts from this blog

Menguatkan Jurnalisme sebagai Percakapan Publik

Empat tahun sudah berlalu sejak polemik soal senjakala jurnalisme meramaikan lini masa kita. Ketika itu, banyak orang yang bekerja di media maupun yang mengamati dari luar media, riuh rendah memperdebatkan masa depan jurnalisme ketika semakin banyak orang meninggalkan media konvensional dan beralih ke platform digital. Rasanya sudah saatnya menengok kembali polemik lama itu dan mengukur sejauhmana kedua kubu, yang pro maupun kontra pada prediksi senjakala, berhasil meramalkan apa yang kini terjadi.  Ikhtiar ini menurut saya penting karena pada hari pertama di tahun baru 2021 ini, Koran Tempo dan Majalah Tempo berbahasa Inggris, resmi beralih ke platform digital. Kedua penerbitan ini tak lagi bisa ditemukan dalam format cetak. Kita ingat, pada 2016, Koran Tempo edisi Minggu juga beralih ke versi digital. Itu salahsatu yang memicu perdebatan soal masa depan jurnalisme.  Banyak yang sudah terjadi setelah empat tahun, dan buat saya banyak yang membesarkan hati. Media digital kini ...

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...

Senjakala atau Kebangkitan Jurnalisme di Era Digital?

Rasanya tidak berlebihan kalau saya mengatakan hampir semua jurnalis di Indonesia beberapa hari terakhir ini mengikuti dengan intens perdebatan di media sosial soal media cetak versus media digital. Perdebatan ini dimulai ketika wartawan senior Harian Kompas, Bre Redana menulis catatan berjudul "Inikah Senjakala Kami..." di Kompas edisi 28 Desember 2015. Artikel Bre langsung jadi viral di media digital, disebarkan di semua whatsapp group jurnalisme dan jadi perbincangan hangat. Selang sehari, muncul banyak artikel tanggapan, dan yang paling sering dikutip adalah tulisan Bayu Galih, wartawan Viva.co.id, yang berjudul "Kami tak pernah cengeng dan bilang ini senjakala kami." Ulasan lebih lengkap soal polemik ini dirangkum dengan baik di artikel ini. Perdebatan soal masa depan jurnalisme dan media ini jelas amat menarik dan penting. Terlebih momentumnya memang tepat. Sepanjang 2015, sejumlah koran cetak memutuskan tutup dan beralih ke digital. Dua yang paling b...