Skip to main content

Indonesia Post Election

Its two days after the presidential election. The official result is not declared yet, but all quick counts shows the same result: the incumbent won. What does this mean to Indonesia? First of all, I think its an indication that Indonesia is eager to part with its dark past. All candidates that has a relation with the authoritarian regime a decade ago are lost. The winner is generally perceived as clean and untainted with Soeharto's sins.

Secondly, this result means Indonesians wants to continue this path: to become a secular democracy, consistently eradicating corruption, and build stronger economy through sound, smart and carefull pro market finance policies. Indonesia wants to be open to the global world, assert its influence and retain itself as a succesful mixture of Islam and democracy, an example of how clash of civilization should not and will not ever occured.

Off course, there are many existing problems that need to be addressed. beaucracy reform that is still far from finished, lack of transparency, weak law enforcement, corrupt judiciary and legislative system, chaotic desentralization, and so on and so forth. But, people sees and feels a sense of direction, that we are in a right path, that it needs time to get to where we want to be. Lets see where we are in five years time.

Comments

Unknown said…
pinjaman biasanya diberikan oleh suatu lembaga pemerintah baik itu pemerintah Indonesia maupun pemerintah asing (bantuan luar negeri). . Saya Mr Recardo, CEO Recardo perusahaan pinjaman keuangan, tahu bahwa ini adalah sebuah
perusahaan pinjaman yang memberikan fasilitas pinjaman dengan tingkat bunga sebesar 2% menjadi organisasi orang .. Apakah anda perlu mendesak pinjaman atau bantuan keuangan? hubungi saya di gmail ini .... Recardoroland.loanfirm@gmail.com Tuhan memberkati Anda

Popular posts from this blog

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...

Pemilu Sela

Sayang Indonesia tidak punya mekanisme pemilihan umum sela. Padahal, mekanisme itu amat membantu mempertahankan tingkat akuntabilitas wakil rakyat di mata pemilihnya. Lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pemilihan sela kongres yang berlangsung sebulan lalu, yang dimenangkan Partai Demokrat, berhasil menyampaikan pesan rakyat Amerika yang menolak Perang Irak. Di Indonesia, pemilu dilakukan lima tahun sekali. Itu pemilu parlemen dan presiden. Sedangkan di daerah-daerah, setiap kabupaten dan provinsi mengadakan pemilihan kepala daerah masing-masing dalam waktu yang berbeda-beda. Tidak heran jika stabilitas politik di negeri ini selalu jadi urusan pelik. Karena partai politik tak habis-habisnya berpikir memenangkan kekuasaan dari satu pemilihan di satu daerah ke pemilihan lain di daerah lain. Begitu terus menerus sepanjang masa. Rantai ini sudah saatnya dihentikan. Setahun lalu, dalam Rapat Pimpinan Nasionalnya di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Partai Golkar sebenarnya sudah pernah ...

Wisudo, Old Media and Public Interest

The boundaries between what is and what is not considered as public interest in many media offices, blurred last week. I mourned for the death of rational journalism and the end of what in my opinion should be media's most sacred treasure, respect for what is right and what is wrong, and an ability to hold themselves from directly interfering the course of events in society. *** It all start with the sacking of my friend and fellow activist, Bambang Wisudo, from his job as senior journalist at a leading media firm here in Jakarta. The unprecedented sacking prompted a lot of question marks, especially because he is a relentless advocate for workers' rights and currently still hold a position as secretary at his office's press workers union. According to Indonesian workers' union law that protect the rights of union activists like Wisudo, this sacking is a plain simple violation. Two articles in that law clearly stated that a union activist cannot be ...