Skip to main content

Presiden Pilihan Parpol

Pemilihan Presiden akan berlangsung pada 9 Juli 2014 mendatang. Artinya masih enam bulan lagi. Di benak banyak orang sudah mulai ada bayangan siapa sosok yang akan mereka pilih di bilik suara nanti. Tapi semuanya masih bisa berubah, karena untuk dicalonkan, para kandidat yang sekarang digadang-gadang, harus direstui partai politik.

Artinya, Jokowi yang sering disebut-sebut sebagai calon RI-1 belum tentu dicalonkan PDIP. Anies Baswedan yang kerap dibicarakan sebagai calon pengganti SBY, belum tentu dicalonkan Partai Demokrat --seperti juga Dahlan Iskan, atau Gita Wirjawan. Mahfud Md masih harus bersaing dengan beberapa kandidat lain --seperti Rhoma Irama-- di PKB.

Di PDIP, Jokowi harus lulus seleksi internal yang dipimpin Megawati. Sementara di Demokrat, Anies, Dahlan dan Gita harus berjuang agar mereka dipilih rakyat lewat konvensi. Di PKB, Mahfud masih bersafari keliling Indonesia agar popularitasnya bisa mendongkrak suara partainya.

Hanya calon presiden yang juga orang paling berkuasa di partainya, yang sudah pasti maju ke pemilihan. Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Hatta Radjasa, Yusril Ihza Mahendra, 100 persen pasti disokong oleh Golkar, Gerindra, PAN dan PBB.

Fenomena ini menandakan bahwa partai rupanya masih berminat membangun oligarki kekuasaan. Hanya capres yang asli, murni, dibesarkan oleh partai, yang melenggang tanpa filter aneh-aneh. Mereka yang dianggap non-partai, harus lewat banyak jalan berliku, sebelum pasti dicalonkan.

Secerdas apapun mereka, semuda apapun, seidealis apapun, sepopuler apapun, semuanya bukan jaminan. Partai menyediakan hanya dua jalur politik. Satu jalur jalan tol untuk kader-kader mereka sendiri, dan satunya jalur jalan memutar buat tokoh masyarakat atau aktivis yang ingin maju ikut pemilihan pejabat publik.

Ini tidak sehat. Terlebih di era ketika masyarakat antipati pada partai. Perilaku korup sebagian petinggi parpol membuat publik jijik pada partai. Akibatnya, mereka yang bersih, antikorupsi, berintegritas dan cerdas, cenderung menjauhkan diri dari partai.

Jalur non-tol untuk mereka yang memutuskan terjun ke politik tentu bisa membuat situasi makin parah. Justru orang parpol harus berterimakasih pada figur seperti Dahlan, Anies, Jokowi, Gita, Mahfud, yang tak punya rekam jejak meniti karir di partai politik, namun mau mendekati parpol untuk mewujudkan mimpi mereka mengabdi pada publik.

Tokoh-tokoh seperti mereka pada akhirnya akan jadi penawar buat rasa benci publik pada parpol. Kalau parpol diibaratkan kaos putih yang sedang kusam dan kotor, maka orang-orang cerdas, bersih berintegritas ini adalah cairan pemutih yang akan membuat parpol kembali disayangi dan dihormati khalayak.

Apalagi kelak kalau Anies Baswedan menjadi Ketua Umum Demokrat, Jokowi menjadi Ketua Umum PDIP, Mahfud menjadi Ketua Umum PKB misalnya, maka citra negatif parpol pasti berangsur membaik. Kalau itu benar-benar terjadi maka parpol sudah berhasil menunaikan tugasnya dalam sistem politik yang ideal: menjadi sarana sirkulasi dan mobilisasi pemimpin di masyarakat kita yang makin maju dan majemuk. (*)

Comments

Popular posts from this blog

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...

Pemilu Sela

Sayang Indonesia tidak punya mekanisme pemilihan umum sela. Padahal, mekanisme itu amat membantu mempertahankan tingkat akuntabilitas wakil rakyat di mata pemilihnya. Lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pemilihan sela kongres yang berlangsung sebulan lalu, yang dimenangkan Partai Demokrat, berhasil menyampaikan pesan rakyat Amerika yang menolak Perang Irak. Di Indonesia, pemilu dilakukan lima tahun sekali. Itu pemilu parlemen dan presiden. Sedangkan di daerah-daerah, setiap kabupaten dan provinsi mengadakan pemilihan kepala daerah masing-masing dalam waktu yang berbeda-beda. Tidak heran jika stabilitas politik di negeri ini selalu jadi urusan pelik. Karena partai politik tak habis-habisnya berpikir memenangkan kekuasaan dari satu pemilihan di satu daerah ke pemilihan lain di daerah lain. Begitu terus menerus sepanjang masa. Rantai ini sudah saatnya dihentikan. Setahun lalu, dalam Rapat Pimpinan Nasionalnya di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Partai Golkar sebenarnya sudah pernah ...

Wisudo, Old Media and Public Interest

The boundaries between what is and what is not considered as public interest in many media offices, blurred last week. I mourned for the death of rational journalism and the end of what in my opinion should be media's most sacred treasure, respect for what is right and what is wrong, and an ability to hold themselves from directly interfering the course of events in society. *** It all start with the sacking of my friend and fellow activist, Bambang Wisudo, from his job as senior journalist at a leading media firm here in Jakarta. The unprecedented sacking prompted a lot of question marks, especially because he is a relentless advocate for workers' rights and currently still hold a position as secretary at his office's press workers union. According to Indonesian workers' union law that protect the rights of union activists like Wisudo, this sacking is a plain simple violation. Two articles in that law clearly stated that a union activist cannot be ...