Skip to main content

Catatan dari Kursus Singkat AJI Jakarta di Belanda

Seharusnya catatan ini dibuat lebih awal, karena rombongan 18 orang anggota AJI yang mengikuti kursus ‘using new media to promote freedom of the press’ sudah kembali ke Indonesia, sejak dua pekan lalu. Namun, berhubung kesibukan di kantor dan rutinitas pekerjaan kami masing-masing, langsung menyergap sesampainya kami di kota-kota asal kami, catatan ini pun jadi tertunda.

Catatan ini saya anggap penting sebagai bentuk ‘pertanggungjawaban’ kami kepada khalayak anggota AJI –wabil khusus AJI Jakarta, namun juga AJI di kota-kota lain—yang benderanya kami wakili dalam perjalanan tiga pekan kami di Eropa. Selain itu, catatan ini juga merupakan tahap pertama upaya diseminasi dari hasil training kami itu.

Sekadar mengingatkan, kursus singkat hasil kerjasama AJI Jakarta, Neso (lembaga penyedia beasiswa Belanda) dan Radio Nederland Training Center ini adalah hasil dari negosiasi panjang kami sejak pertengahan 2009 lalu. Idenya berawal dari keprihatinan kami mendengar dan menyaksikan bagaimana kawan-kawan di redaksi, seringkali terpaksa mengalah pada agenda-agenda tertentu ‘titipan’ dari pemilik media.

Independensi ruang redaksi, sesuatu yang kita sakralkan sebagai jurnalis, makin rapuh dan keropos akibat tuntutan komersialisasi alias tekanan mencari profit. Para pemilik media, rata-rata tidak memiliki background jurnalistik, cenderung menggunakan media sebagai bumper, untuk membela dan memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi mereka.

Keprihatinan itu makin mengemuka setelah pemilihan umum 2009 kemarin. Makin nyatalah bahwa jurnalis, tidak lagi memegang kekuasaan tunggal di ruang redaksi. Ada kekuasaan lain: para pemilik modal, yang makin nyata dan makin dominan.

Ini tren global sebenarnya. Lihat saja bagaimana Silvio Berlusconi menguasai media di Italia, atau Rupert Murdoch dengan kerajaan medianya di Eropa, Amerika dan Australia. Di dalam negeri, konglomerasi media grup Media Nusantara Citra (Harry Tanoesoedibjo), Trans (Chairul Tandjung), Bakrie (Aburizal dan Nirwan), untuk menyebut beberapa di antaranya, terus menggurita.

Situasinya tidak akan terlalu mengkhawatirkan jika saja redaksi dan publik punya posisi tawar yang kuat. Namun, melihat bagaimana serikat pekerja Indosiar dan Suara Pembaruan digilas baru-baru ini, sudah cukup untuk membuat kita mahfum bahwa pengorganisiran jurnalis masih butuh kerja keras dan waktu panjang. Publik juga masih lemah dan tidak punya alat untuk mempengaruhi kebijakan redaksi media massa.

Kami di AJI Jakarta kemudian terinspirasi untuk menggunakan media online sebagai ‘alat perlawanan’ baru. Sebuah website yang ter-update dengan informasi yang sahih, didukung data berbasis multimedia, dan dioperasikan sebagai media sosial dimana anggota jejaring AJI bisa berkomunikasi, bertukar data dan informasi, kami bayangkan bisa jadi sebuah alternatif.

Terlebih jika website ini khusus membahas isu-isu di media, membongkar praktek kongkalikong antara pemilik media dan penguasa, tekanan ke redaksi, berita-berita yang tidak bisa dimuat di media mainstream, kisah-kisah di balik berita dan informasi semacam itu.

Namun masalahnya, pemahaman dan keterampilan anggota AJI Jakarta soal ‘new media’ amatlah terbatas. Kami perlu meng-upgrade diri secara cepat. Berdasarkan kebutuhan inilah, kami kemudian menjajaki kerjasama dengan Belanda. Dan akhir Januari 2010 lalu, gayung pun bersambut.

Singkat cerita, lewat proses seleksi, terpilihlah 18 orang anggota AJI untuk berangkat ke Belanda. Wahyu Dhyatmika, Abdul Malik, Dian Yuliastuti, Ratna Ariyanti, Jakson Simanjuntak, Iman Dwianto Nugroho , Edi Can, Agustinus Jojo Raharjo, Anita Rahman, Anta Kusuma, Arfi Bambani Amri, Karaniya Dharmasaputra, dan Djumiati Partawidjaja dari AJI Jakarta. Sebagian besar di antaranya adalah pengurus (inti dan adhoc). Dari luar Jakarta, ada Anton Muhajir (AJI Denpasar), Rudi Hartono (AJI Surabaya), Imung Yuniardi (AJI Semarang), Dyah Pitaloka (AJI Malang), dan Dina Febriastuti (AJI Pekanbaru).

Pekan pertama kami di Belanda, berlalu dengan lambat. Kami masih jetlag (setelah sekitar 13 jam di pesawat –hanya transit sejam di Kuala Lumpur), dan harus menyesuaikan diri dengan makanan, tempat dan orang-orang baru. Kami menginap di Hotel Bastion, Bussum, setengah jam dari Amsterdam. Tempat kursus kami adalah Radio Nederland Training Center (RNTC), di Hilversum, 10 menit dengan bus dari hotel.

Separuh dari hotel Bastion-Bussum memang khusus dipergunakan oleh peserta kursus di RNTC. Lembaga ini menyediakan berbagai jenis kursus sepanjang tahun. Pesertanya dari seluruh dunia –kebanyakkan Asia, Afrika, Eropa Timur dan Amerika Latin. Ketika kami tiba di sana, peserta kursus ‘Reporting Good Governance’ baru saja merampungkan tiga bulan kursus mereka. Kami beruntung mendapat lungsuran sekantong besar sabun cuci bubuk dan sejumlah tips praktis hidup di sana.

Kami semua berbagi kamar standar dengan dua tempat tidur. Sarapan disediakan di hotel –menunya tidak pernah berubah: roti, croissant, telur, yoghurt, juice, irisan bacon dan salmon. Tidak ada nasi. Ada satu mesin cuci yang bisa dipakai bergiliran untuk mencuci pakaian, lengkap dengan pengeringnya. Begitu keluar dari mesin, baju sudah bisa langsung dipakai lagi.

Untuk makan siang dan makan malam, kami bebas mengusahakan sendiri, dengan uang saku yang disediakan. Sayangnya, kami tidak bisa memasak, karena tidak ada dapur di hotel. Pilihannya: makan di kantin Radio Nederland (yang cukup murah dan enak) atau mencari makanan Indonesia. Kami beruntung, karena tak jauh dari hotel, ada restoran Indonesia, Sinar Djaja, milik dua lelaki asal Malang, Jawa Timur: Hira dan Ali. Sebagian dari kami kemudian memesan katering dari kedai itu.

Setiap pagi, kami berangkat dengan bus (Pada pekan kedua, beberapa dari kami mencoba berjalan kaki. Pilihan yang lebih sehat, walau mereka sempat tersesat di hutan dan terlambat masuk kelas). Kelas dimulai pukul 9 pagi, dan berakhir pukul 5 sore. Ada break kopi di pukul 10, break makan siang pukul 1 siang dan break kopi lagi pukul 3 sore.

Agak tertekan juga harus terkurung sepanjang hari di kelas, karena cuaca spring di Belanda amat cerah, meski kadang suhu bisa merosot ke 5-10 derajat celcius. Kami agak terhibur karena matahari bersinar terik sampai pukul 9-10 malam.

Seluruh program training dipandu oleh dua fasilitator: Abi Daruvalla (mantan wartawan TIME yang sekarang mengelola situs berita http://dutchnews.nl ) dan Jeroen Westerbek (freelancer yang menekuni new media). Seluruh hasil workshop kami diupload di situs http://rntctraining2.wordpress.com.

Agenda rutin kami (hampir) setiap pagi adalah daily editorial meeting, dimana secara bergiliran kami akan mengusulkan item headline news untuk kategori berita internasional, berita Indonesia dan berita tentang new media. Setiap pilihan berita dan cara penyajiannya diperdebatkan dengan seru.
Seperti yang sudah saya sampaikan, pekan pertama berlangsung lambat. Ritme kursus juga masih pelan, dan beban kerjanya ringan. Kami mendapat ceramah soal net text –bagaimana menulis untuk media online, berdiskusi soal ancaman kebebasan pers di Indonesia dan apa peluang yang disediakan new media. Kami juga mendengar ceramah dari Peter Verweij (dosen Utrecht University) soal bagaimana menggunakan media sosial untuk mengorganisir jurnalis. Bahannya bisa diperoleh di sini: http://www.d3-media.nl/

Pekan kedua, kami mulai ngebut. Pekan ini diawali dengan perayaan Hari Kebebasan Pers sedunia di Amsterdam, dimana AJI diminta mengisi satu sessi soal peluang dan tantangan menggunakan new media untuk kebebasan pers. Tim AJI Jakarta dipanel dengan dua pembicara lain, seorang blogger dari NRC –koran terkemuka di sana—dan trainer kami, Jeroen. Sambutannya positif, banyak yang mengapresiasi AJI dan rencana-rencananya ke depan.

Selain itu, di kelas, kami juga ditugaskan membuat feature tentang sejumlah NGO di Belanda, yang menggunakan new media dalam kegiatan operasionalnya. Kami dibagi jadi enam tim, yang masing-masing mendapat tugas pergi ke enam lembaga berbeda. Kebetulan saya kebagian mewawancarai personel Free Voice –lembaga pendukung kebebasan pers berbasis di Belanda, yang aktif membantu AJI di awal pendiriannya. Situsnya di http://www.freevoice.nl/news/

Selain menuliskan hasil reporting kami, setiap tim diminta mem-publish sebuah tampilan multimedia –dengan foto, video, grafik, dan hyperlinks—mengenai lembaga yang kami kunjungi. Hasilnya bisa dibaca di situs workshop kami.

Pekan terakhir dipenuhi dengan agenda field trip. Kami berkunjung ke NVJ, alias serikat pekerja jurnalis Belanda di Amsterdam. Di sana, kami menemui redaksi http://villamedia.nl , media online yang khusus dikembangkan NVJ untuk mendukung kegiatannya.

Saya pribadi menilai kunjungan ini benar-benar menginspirasi , karena kami jadi tahu bagaimana media internal organisasi bisa dikembangkan untuk publik. Villa Media sendiri berawal dari majalah internal NVJ, dan baru berkembang sebagai online media, sekitar 10 tahun lalu. Isinya informasi soal lowongan pekerjaan, serba-serbi komunitas anggota NVJ dan media news –semua berita yang berkaitan dengan media.

Selain itu, kami juga berkesempatan mengunjungi lima redaksi media online berbeda. Namun, karena keterbatasan waktu, kami harus berpencar dan membentuk tim-tim terpisah. Ada yang mengunjungi NOS online di Hilversum, RTV di Utrecht, Radio Nederland online dan Financieele Dagblad online. Kami juga sempat mengunjungi http://www.nu.nl/ detik.com-nya Belanda, media online dengan pengunjung terbesar di Belanda.

Saya sendiri beruntung berkunjung ke http://www.unieuws.nl/ sebuah media online yang mengandalkan citizen journalism. Semua beritanya berasal dari warga sendiri. Di sana kami belajar bagaimana redaksi RTV Utrecht, media publik yang mengelola situs ini, berjibaku mengembangkan situs ini.
Hasil semua kunjungan itu dipresentasikan pada forum keesokan harinya. File powerpoint dari kunjungan2 itu bisa diperoleh di AJI Jakarta. Kami akan mengirimkannya ke rekan2 yang berminat dan membutuhkan.

Dua hari terakhir kursus, kami pakai untuk mematangkan rencana follow up training ini. Kami berencana membuat sebuah website khusus untuk penguatan kebebasan pers di Indonesia, berbasis di Jakarta. Namanya http://mediaindependen.com

Kami berharap website ini bisa jadi semacam oase, dimana semua yang tabu bisa dibicarakan secara terbuka, oleh awak media sendiri, para jurnalis. Identitas pengirimnya bisa disamarkan, untuk melindunginya dari ancaman, namun akan ada semacam tim redaksi yang melakukan verifikasi dan memberikan hak jawab pada pihak-pihak yang dituduh. Informasi-informasi yang ditutupi, bisa dibuka di sini, dibahas dan dicari solusinya.

Kami membayangkan website ini jadi semacam kombinasi antara wikileaks (dimana informasi, dokumen dan data rahasia dibocorkan), jejaring sosial macam facebook (dimana anggota AJI dan jurnalis bisa berinteraksi dan bertukar informasi) dan media watch (dimana kebijakan redaksi, dan segala tingkah polah media dibongkar dan dibahas). Publik yang ingin tahu jeroan media bisa mengakses situs ini dan memperoleh pemahaman soal struktur kepemilikan media-media, apa kebijakan redaksinya, apa biasnya dan ada apa di balik bias itu.

Rencana kerja pembuatan website ini adalah tugas akhir kami selama kursus di Radio Nederland. Kami ber-18 sudah sepakat akan menjadi punggawa awal website yang rencananya bakal kami luncurkan pada 7 Agustus nanti. Wish us luck.

Sebagai bagian dari komitmen kami dengan Neso, AJI Jakarta akan mengadakan training soal bagaimana menggunakan new media untuk penguatan kebebasan pers, di Jakarta, dalam 1-2 bulan ini. Semua hasil training kami akan dishare pada forum itu.

Comments

Unknown said…
follow me.....
Abdul Malik said…
This comment has been removed by the author.
Abdul Malik said…
Wow detil banget mas. Mesti banyak belajar nih, biar bisa niru he3..

Popular posts from this blog

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d

Pemilu Sela

Sayang Indonesia tidak punya mekanisme pemilihan umum sela. Padahal, mekanisme itu amat membantu mempertahankan tingkat akuntabilitas wakil rakyat di mata pemilihnya. Lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pemilihan sela kongres yang berlangsung sebulan lalu, yang dimenangkan Partai Demokrat, berhasil menyampaikan pesan rakyat Amerika yang menolak Perang Irak. Di Indonesia, pemilu dilakukan lima tahun sekali. Itu pemilu parlemen dan presiden. Sedangkan di daerah-daerah, setiap kabupaten dan provinsi mengadakan pemilihan kepala daerah masing-masing dalam waktu yang berbeda-beda. Tidak heran jika stabilitas politik di negeri ini selalu jadi urusan pelik. Karena partai politik tak habis-habisnya berpikir memenangkan kekuasaan dari satu pemilihan di satu daerah ke pemilihan lain di daerah lain. Begitu terus menerus sepanjang masa. Rantai ini sudah saatnya dihentikan. Setahun lalu, dalam Rapat Pimpinan Nasionalnya di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Partai Golkar sebenarnya sudah pernah

Wisudo, Old Media and Public Interest

The boundaries between what is and what is not considered as public interest in many media offices, blurred last week. I mourned for the death of rational journalism and the end of what in my opinion should be media's most sacred treasure, respect for what is right and what is wrong, and an ability to hold themselves from directly interfering the course of events in society. *** It all start with the sacking of my friend and fellow activist, Bambang Wisudo, from his job as senior journalist at a leading media firm here in Jakarta. The unprecedented sacking prompted a lot of question marks, especially because he is a relentless advocate for workers' rights and currently still hold a position as secretary at his office's press workers union. According to Indonesian workers' union law that protect the rights of union activists like Wisudo, this sacking is a plain simple violation. Two articles in that law clearly stated that a union activist cannot be