Skip to main content

A Journalist' Responsibility

This question haunted me since several weeks ago: how far do we, journalist, are responsible for things happening around us?

It all begin last September. The Alliance of Independent Journalist (AJI) Jakarta, where I sit as the chairman since last February, was asked to host a discussion to commemorate the fifth year anniversary of Munir's murder. As everybody probably well aware, this prominent human rights campaigner was poisoned to death on a Garuda flight to Amsterdam, September 7th five year ago.

Many journalists attended the discussion. We watched a documentary made by a friend of mine, former RCTI producer, Dhandy Dwi Laksono, and felt closer to Cak Munir. The film was great, it explained why we need to keep asking the question: who was behind this murder and keep pushing the police and attorney general to prosecute the mastermind.

However, the thing that disturbed me came during the discussion. Although it was not openly spoken during the Q and A session, I sense that many human rights activist who were there feel that the media, the journalist, has abandoned them, has forget this cause. "Yes, we got a lot of help and support from you all, but the work is not done yet, please come aboard again, lets do this once more, and push a litle more, so that everybody involve behind the curtain will be brought to justice."

How did we forget about Munir?

Well, we have many things on our plate. If you havent forget, we had the election, we had terrorism, we had corruption, we had other cases, everyday. So we did forget Munir.

How can we forget about Munir?

We can't. We actually can not and should not forget Munir.

But we just had so many other newsworthy issues to cover. We cannot fill our pages, our airwaves, with reports about Munir, if nothing happened just yet, can we? Some of us may ask: do we, journalist, have to also care about shaping an agenda, or do we just go with the flow, report anything that came in our way? Do we have time to reflect and then deliberately steer our reporting to a cause, to an issue, we know is important to the public? Are we free enough to that? Are we smart enough to that?

Comments

Popular posts from this blog

Menguatkan Jurnalisme sebagai Percakapan Publik

Empat tahun sudah berlalu sejak polemik soal senjakala jurnalisme meramaikan lini masa kita. Ketika itu, banyak orang yang bekerja di media maupun yang mengamati dari luar media, riuh rendah memperdebatkan masa depan jurnalisme ketika semakin banyak orang meninggalkan media konvensional dan beralih ke platform digital. Rasanya sudah saatnya menengok kembali polemik lama itu dan mengukur sejauhmana kedua kubu, yang pro maupun kontra pada prediksi senjakala, berhasil meramalkan apa yang kini terjadi.  Ikhtiar ini menurut saya penting karena pada hari pertama di tahun baru 2021 ini, Koran Tempo dan Majalah Tempo berbahasa Inggris, resmi beralih ke platform digital. Kedua penerbitan ini tak lagi bisa ditemukan dalam format cetak. Kita ingat, pada 2016, Koran Tempo edisi Minggu juga beralih ke versi digital. Itu salahsatu yang memicu perdebatan soal masa depan jurnalisme.  Banyak yang sudah terjadi setelah empat tahun, dan buat saya banyak yang membesarkan hati. Media digital kini ...

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...

Senjakala atau Kebangkitan Jurnalisme di Era Digital?

Rasanya tidak berlebihan kalau saya mengatakan hampir semua jurnalis di Indonesia beberapa hari terakhir ini mengikuti dengan intens perdebatan di media sosial soal media cetak versus media digital. Perdebatan ini dimulai ketika wartawan senior Harian Kompas, Bre Redana menulis catatan berjudul "Inikah Senjakala Kami..." di Kompas edisi 28 Desember 2015. Artikel Bre langsung jadi viral di media digital, disebarkan di semua whatsapp group jurnalisme dan jadi perbincangan hangat. Selang sehari, muncul banyak artikel tanggapan, dan yang paling sering dikutip adalah tulisan Bayu Galih, wartawan Viva.co.id, yang berjudul "Kami tak pernah cengeng dan bilang ini senjakala kami." Ulasan lebih lengkap soal polemik ini dirangkum dengan baik di artikel ini. Perdebatan soal masa depan jurnalisme dan media ini jelas amat menarik dan penting. Terlebih momentumnya memang tepat. Sepanjang 2015, sejumlah koran cetak memutuskan tutup dan beralih ke digital. Dua yang paling b...