Skip to main content

Another Thought on The Election

Well, we're advancing fast toward the election now. Almost everybody is ready by now. All parties have geared up their campaign machinery, and now seems like have exhausted everything possible on their effort to win. But, somehow, I dont think this election will really deliver a genuine chance for Indonesian to have a real, elected representatives to fight for their interests.

First of all, there is the question of money. Indonesian politics are expensive. If you want a shoot and try to join the big league --i.e. the national parliament-- you have at least have several hundred millions rupiah at your disposal. A friend of mine said he spent almost 200 million IDR within six months of campaigning. And thats small numbers, compared with what the others has spent.

Because of that, only rich people can compete in this election. To cover their lack of power-base, they hire local people to act as their liason officer in the field. They spread money, arrange public meeting, and mobilize voters to the polling booth. They are paid with good money.

Candidates with no ties to financial sources are left with no hope to win. Another friend, a former journalist, tries his luck competing for a local parliament seat, and he said he has no chance whatsoever. "My competitor is a local bussinesman, he owns a big property company in my city, and he's willing to spend a fortune to win," he said.

I think there is something wrong with this system. Real grass root politician, with good networking, clear vision and a call to serve its community does not stand a chance. Unless, he's good at fundraising, making contacts with bussines people and offer them something in return for financial backing. But, thats not easy either. My friend has tried and failed. "In one case, the bussinesman himself is also running, so obviously he cannot support me. In another case, the bussinesman ask for a big favor in return, which I cant accept because its againsts my constituents' interest," he said.

In the end, after the election, I'm almost certain we'll see a parliament packed of rich, well-connected people, that is out of touch with the real person that live nearby. Half of them will be people who already bought by another group of rich people --who prefer to use someone else and dont want to do the dirty work themselves. Off course, there will be some exception, but they are so small in numbers to hardly trigger something meaningful.

Am I sound too sceptic? Lets see if I'm right or wrong after the election.

Comments

Popular posts from this blog

Menguatkan Jurnalisme sebagai Percakapan Publik

Empat tahun sudah berlalu sejak polemik soal senjakala jurnalisme meramaikan lini masa kita. Ketika itu, banyak orang yang bekerja di media maupun yang mengamati dari luar media, riuh rendah memperdebatkan masa depan jurnalisme ketika semakin banyak orang meninggalkan media konvensional dan beralih ke platform digital. Rasanya sudah saatnya menengok kembali polemik lama itu dan mengukur sejauhmana kedua kubu, yang pro maupun kontra pada prediksi senjakala, berhasil meramalkan apa yang kini terjadi.  Ikhtiar ini menurut saya penting karena pada hari pertama di tahun baru 2021 ini, Koran Tempo dan Majalah Tempo berbahasa Inggris, resmi beralih ke platform digital. Kedua penerbitan ini tak lagi bisa ditemukan dalam format cetak. Kita ingat, pada 2016, Koran Tempo edisi Minggu juga beralih ke versi digital. Itu salahsatu yang memicu perdebatan soal masa depan jurnalisme.  Banyak yang sudah terjadi setelah empat tahun, dan buat saya banyak yang membesarkan hati. Media digital kini ...

Senjakala atau Kebangkitan Jurnalisme di Era Digital?

Rasanya tidak berlebihan kalau saya mengatakan hampir semua jurnalis di Indonesia beberapa hari terakhir ini mengikuti dengan intens perdebatan di media sosial soal media cetak versus media digital. Perdebatan ini dimulai ketika wartawan senior Harian Kompas, Bre Redana menulis catatan berjudul "Inikah Senjakala Kami..." di Kompas edisi 28 Desember 2015. Artikel Bre langsung jadi viral di media digital, disebarkan di semua whatsapp group jurnalisme dan jadi perbincangan hangat. Selang sehari, muncul banyak artikel tanggapan, dan yang paling sering dikutip adalah tulisan Bayu Galih, wartawan Viva.co.id, yang berjudul "Kami tak pernah cengeng dan bilang ini senjakala kami." Ulasan lebih lengkap soal polemik ini dirangkum dengan baik di artikel ini. Perdebatan soal masa depan jurnalisme dan media ini jelas amat menarik dan penting. Terlebih momentumnya memang tepat. Sepanjang 2015, sejumlah koran cetak memutuskan tutup dan beralih ke digital. Dua yang paling b...

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...