Skip to main content

Delapan Peluru Makan Tuan



Siaga satu polisi Inggris mengantisipasi serangan teroris susulan di London, berbuntut makan tuan. Akankah ada korban tak bersalah lain, buah perintah ‘tembak mati’ untuk tersangka pengebom bunuh diri?

LONDON-- Wajah Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw, tampak muram. Senyum sedikit pun tak tersungging di wajahnya, ketika memasuki ruang konferensi pers Kementerian Luar Negeri dan Persemakmuran (Foreign and Commonwealth Office--) Inggris, di King Charles Street yang bersebelahan dengan Downing Street, kediaman resmi perdana menteri Britania. Raut muka koleganya, Menteri Luar Negeri Brazil, Celso Amorim, tak kalah sendu. Senin (25/7) malam itu, mereka berdua baru saja usai membicarakan kematian warga negara Brazil, Jean Charles de Menezes, di tangan agen polisi anti teroris unit SO19 Scotland Yard, dua hari sebelumnya. Delapan peluru menghabisi nyawa Jean Charles, Jumat (22/7) pagi, di stasiun kereta bawah tanah, Stockwell, London selatan. Tapi yang membuat pertemuan Straw dan Amorim jadi suram; kematian itu ternyata kecelakaan. Jean Charles bukan tersangka pengebom bunuh diri, seperti yang diduga polisi.

Semuanya berawal dari insiden pengeboman yang gagal, Kamis (21/7) silam. Modus operandinya nyaris serupa dengan tragedi 7/7 dua pekan sebelumnya; empat bom –tiga di kereta bawah tanah dan satu di bus double decker—, dirancang untuk menyebar maut di sarana transportasi umum London yang selalu sarat penumpang. Bedanya, yang ini gagal meledak. Polisi pun bersyukur berlipat: sudah tidak meledak, tas punggung berisi bom yang ditinggalkan pelaku, penuh dengan sidik jari dan bukti-bukti penting lainnya. Secarik kertas di salahsatu tas milik pengebom yang ditemukan di stasiun bawah tanah Oval --satu stasiun sebelum stasiun Stockwell, membawa polisi pada flat sempit di Scotia Road, dekat Tulse Hill, Brixton.

Maka ketika Jean Charles de Menezes (27 tahun) melenggang dari flat yang sedang diintai itu pada Jumat naas dua pekan lalu, agen polisi langsung menghubungi komandannya di ruang kendali Operasi Kratos –operasi investigasi bom London—di New Scotland Yard. Perintahnya; ikuti. Tak membuang waktu, sedikitnya 30 agen polisi ‘undercover’ lalu mengendap mengekor Jean Charles, yang ketika itu dalam perjalanan menuju Willesden Green, jauh di London Utara, untuk memperbaiki alarm rumah pelanggannya di sana. Sejak menetap di London tiga tahun silam, Jean memang berprofesi sebagai tukang listrik. Dari Tulse Hill, Jean Charles melompat naik bus nomor dua jurusan Baker Street.

Polisi sebenarnya setengah berharap Jean Charles akan membawa mereka pada anggota komplotan pengebom lainnya. Harapan menguap jadi kekhawatiran ketika yang dikuntit malah turun dari bus di perempatan Stockwell, lalu masuk ke stasiun kereta bawah tanah. Jaket tebal yang dikenakan Jean Charles menambah was-was polisi, karena meski berangin, London sebenarnya sudah masuk musim panas. Mereka takut Jean Charles menyembunyikan bahan peledak di balik jaket. Perintah lanjutan dari Scotland Yard –seperti dikutip koran The Times-- sejernih kristal, “Netralisir bahaya.” Tiga polisi berpakaian preman lalu mendekati Jean Charles yang sedang mengantri karcis.

Entah kenapa, Jean lari.

“Dalam situasi seperti ini, polisi dituntut mengambil keputusan dalam sepersekian detik, menakar bahaya untuk kepentingan umum dan menetralisir bahaya tersebut,” kata Kepala Kepolisian Metropolitan London, Sir Ian Blair, dalam wawancara dengan stasiun teve Channel 4, beberapa hari setelah penembakan.

Seorang saksi mata yang ada di lokasi insiden, mengaku melihat seseorang ‘berwajah Asia’ berlari dikejar tiga pria bersenjata api. Sambil mengejar, dua dari mereka buru-buru memasang topi baseball bertuliskan ‘Police’, sementara yang satu berteriak, “Tiarap” pada kerumunan orang yang sedang menanti kereta. Panik, Jean Charles menerobos masuk ke dalam kereta Northern Line yang memang sedang berhenti. Sekejap, dia berhenti, menoleh kiri kanan. Ketika itulah, dua pemburunya menyergap dari belakang dan menindih Jean Charles di lantai kereta. Polisi ketiga tanpa ba bi bu menodongkan pistol ke kepala Jean dan dor dor dor…. delapan kali. Satu peluru di bahu, tujuh peluru di otak kecil.

Semua itu –pengejaran sampai penembakan—terjadi dalam waktu kurang dari lima menit. Keputusan sepersekian detik yang diambil tiga agen polisi di belakang Jean Charles, berakibat fatal.

Sejak tiga tahun lalu, enam bulan paska peristiwa 9/11 di New York, Amerika, Scotland Yard memang mengadopsi kebijakan ‘tembak mati’ (shoot-to-kill policy) yang diterapkan aparat keamanan Israel untuk tersangka pengebom bunuh diri. “Menembak dada percuma karena justru bisa meledakkan bom yang biasanya dipasang di sana. Satu-satunya jalan melumpuhkan bom bunuh diri adalah menembak kepala,” kata Sir Ian Blair. “Kami minta maaf pada keluarga Jean Charles, tapi kita harus jalan terus dan melanjutkan investigasi ini,” katanya.

Meski Scotland Yard berjanji menelisik siapa yang salah lewat penyelidikan Komisi Kepolisian (Independent Police Complaints Comission--), amarah banyak orang tak terbendung. Apalagi, masih berbulan-bulan sebelum kasus ini rampung diusut. Di luar stasiun kereta Stockwell, bertumpuk karangan bunga dan poster menghujat polisi. “Bagaimana kami dari etnis minoritas bisa merasa aman tinggal di sini?” tanya Miriam Cozque, yang ditemui TEMPO tengah tersedu di sana.

Pemerintah Brazil –yang sejak awal anti perang di Irak—semula tak kalah berang. Namun usai bertemu koleganya Jack Straw, Menteri Amorim tampak berusaha mendinginkan suasana. “Saya bisa memahami situasi London setelah tragedi 7/7. Yang perlu ditekankan sekarang adalah perang melawan terorisme harus dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia sepenuhnya,” katanya, diiringi anggukan Straw.

Mau tidak mau, menghormati hak asasi manusia memang jadi kunci. Perang melawan terorisme yang menghalalkan segala cara salah-salah bisa jadi teror baru. Dan itu yang persis diinginkan pengebom London, 7 Juli silam. l Wahyu Dhyatmika (London)

Comments

Popular posts from this blog

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...

Pemilu Sela

Sayang Indonesia tidak punya mekanisme pemilihan umum sela. Padahal, mekanisme itu amat membantu mempertahankan tingkat akuntabilitas wakil rakyat di mata pemilihnya. Lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pemilihan sela kongres yang berlangsung sebulan lalu, yang dimenangkan Partai Demokrat, berhasil menyampaikan pesan rakyat Amerika yang menolak Perang Irak. Di Indonesia, pemilu dilakukan lima tahun sekali. Itu pemilu parlemen dan presiden. Sedangkan di daerah-daerah, setiap kabupaten dan provinsi mengadakan pemilihan kepala daerah masing-masing dalam waktu yang berbeda-beda. Tidak heran jika stabilitas politik di negeri ini selalu jadi urusan pelik. Karena partai politik tak habis-habisnya berpikir memenangkan kekuasaan dari satu pemilihan di satu daerah ke pemilihan lain di daerah lain. Begitu terus menerus sepanjang masa. Rantai ini sudah saatnya dihentikan. Setahun lalu, dalam Rapat Pimpinan Nasionalnya di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Partai Golkar sebenarnya sudah pernah ...

Wisudo, Old Media and Public Interest

The boundaries between what is and what is not considered as public interest in many media offices, blurred last week. I mourned for the death of rational journalism and the end of what in my opinion should be media's most sacred treasure, respect for what is right and what is wrong, and an ability to hold themselves from directly interfering the course of events in society. *** It all start with the sacking of my friend and fellow activist, Bambang Wisudo, from his job as senior journalist at a leading media firm here in Jakarta. The unprecedented sacking prompted a lot of question marks, especially because he is a relentless advocate for workers' rights and currently still hold a position as secretary at his office's press workers union. According to Indonesian workers' union law that protect the rights of union activists like Wisudo, this sacking is a plain simple violation. Two articles in that law clearly stated that a union activist cannot be ...