Skip to main content

Indonesia and The Election Year

This year, Indonesia will face two election: the general election for legislative body's members --from local councillor in district level, to provincial and state parliaments-- and the presidential election. The first one will takes place next April 9th, whilst the second one on July 5th.

Unlike the previous election in 2004, the general mood this time is a little different. In 2004, everyone anticipated the coming election with excitement. Five years ago, we experienced our first ever direct presidential election. Before, our head of state always picked by a handfull members of the People's Representative Assembly, a sort of Indonesian version of the US Congress.

In 2004, we were also eager to end our political landscape's turmoil. We had a very fragmented coalition back then. At first, after the 1999 election, we had Central Axis Coalition, consists of Golkar and a few Islamic parties as the ruling coalition. That coalition collapse halfway, resulting an impeachment of the then presiden Abdurrahman Wahid. Golkar approached PDIP --the winner of 1999 election-- and together they backed Megawati, as the new president.

Maybe the public back then in 2004, was tired to watch all of those political gimmicks. Not to mention, the trial of Akbar Tandjung, that went nowhere, corruption everywhere, incompetence in all level of government. The election came and seen as a rescue, a way out, to break and end this political fiasco, and create a better one out of it.

Today, the mood is different. We're not that excited to welcome the election year. We want to see progress, we want to see improvement, we want to work, work, work, for the better of our country. We tend to see the election as an obstacle, in one way or another, especially when it got nothing to do --or at least so it seems-- to our big project in reinventing Indonesia, making it prosper and excell. The candidates are all old faces who wants to make a comeback to the center stage, and offer nothing new except in rhetoric. No wonder people are complaining, and wishing all of this will end soon.

Comments

Popular posts from this blog

Menguatkan Jurnalisme sebagai Percakapan Publik

Empat tahun sudah berlalu sejak polemik soal senjakala jurnalisme meramaikan lini masa kita. Ketika itu, banyak orang yang bekerja di media maupun yang mengamati dari luar media, riuh rendah memperdebatkan masa depan jurnalisme ketika semakin banyak orang meninggalkan media konvensional dan beralih ke platform digital. Rasanya sudah saatnya menengok kembali polemik lama itu dan mengukur sejauhmana kedua kubu, yang pro maupun kontra pada prediksi senjakala, berhasil meramalkan apa yang kini terjadi.  Ikhtiar ini menurut saya penting karena pada hari pertama di tahun baru 2021 ini, Koran Tempo dan Majalah Tempo berbahasa Inggris, resmi beralih ke platform digital. Kedua penerbitan ini tak lagi bisa ditemukan dalam format cetak. Kita ingat, pada 2016, Koran Tempo edisi Minggu juga beralih ke versi digital. Itu salahsatu yang memicu perdebatan soal masa depan jurnalisme.  Banyak yang sudah terjadi setelah empat tahun, dan buat saya banyak yang membesarkan hati. Media digital kini ...

Senjakala atau Kebangkitan Jurnalisme di Era Digital?

Rasanya tidak berlebihan kalau saya mengatakan hampir semua jurnalis di Indonesia beberapa hari terakhir ini mengikuti dengan intens perdebatan di media sosial soal media cetak versus media digital. Perdebatan ini dimulai ketika wartawan senior Harian Kompas, Bre Redana menulis catatan berjudul "Inikah Senjakala Kami..." di Kompas edisi 28 Desember 2015. Artikel Bre langsung jadi viral di media digital, disebarkan di semua whatsapp group jurnalisme dan jadi perbincangan hangat. Selang sehari, muncul banyak artikel tanggapan, dan yang paling sering dikutip adalah tulisan Bayu Galih, wartawan Viva.co.id, yang berjudul "Kami tak pernah cengeng dan bilang ini senjakala kami." Ulasan lebih lengkap soal polemik ini dirangkum dengan baik di artikel ini. Perdebatan soal masa depan jurnalisme dan media ini jelas amat menarik dan penting. Terlebih momentumnya memang tepat. Sepanjang 2015, sejumlah koran cetak memutuskan tutup dan beralih ke digital. Dua yang paling b...

Menyoal Reaksi atas Video Seks Ariel-Luna-Cut Tari

Sudah banyak yang ditulis orang soal video seks Ariel-Luna-Cut Tari, dan orang-orang pun, saya kira, mulai merasa jenuh membicarakannya. Ketiga selebritis ini sudah diperiksa di Mabes Polri, dan penyebar video ini pun kabarnya sudah ditangkap polisi. Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah reaksi sebagian orang menanggapi video seks itu. "Para pelaku dalam video itu, Ariel-Luna-Tari, merusak moral masyarakat. Mereka harus dihukum," demikian komentar mereka. Tak akan jadi berita kalau tetangga sebelah rumah atau ketua RT yang berkomentar begitu. Tapi ini adalah tokoh-tokoh publik, macam Menkominfo Tifatul Sembiring dan Ketua MK Moh. Mahfud Md. Mereka punya power untuk melakukan sesuatu, merilis regulasi dan membentuk sistem nilai. Dan benar saja. Menteri Tifatul langsung mendapat angin untuk membahas lagi Rancangan Peraturan Menteri soal konten multimedia. Padahal sebelumnya RPM Konten ini sudah mental setelah ditolak sana sini. Ketua MK, Mahfud, dalam sebuah wawancara d...